Dalam kehidupan sehari-hari seringkali kita mengalami
penolakan. Lihat saja
pemberitaan di media massa, ada warga yang menolak direlokasi oleh
pemerintah, ada
abang-abang ojek konvensional
menolak hadirnya ojek modern
yang kekinian, ada dosen-dosen yang menolak judul
skripsi mahasiswanya, dan ada juga ibu-ibu yang menolak permintaan anaknya
untuk dibelikan mainan.
Penolakan umum terjadi dalam
kehidupan sehari-hari sebagai hasil dari proses ‘manusia berhak memilih yang terbaik’ dan rasanya cukup banyak yang sudah saya alami
sendiri. Paling sering sebelumnya saat menjadi seorang freelancer dalam bidang
seni visual, dari situlah saya banyak mendapatkan pengalaman penolakan oleh
klien jika proposal saya tidak sesuai keinginan mereka, sampai kadang-kadang
saya bisa merasakan bahwa saya akan ditolak jauh sebelum mereka memberikan
penolakan secara ‘resmi’. Entah mengapa gesture mereka sebelum melakukan
penolakan selalu terlihat sama.
Bagaimana dengan penolakan dalam
hal percintaan? Katanya ini paling sakit hahaha, it’s like all the worst pains you have in life comes in
one package. Pikiran hampa, bernapas terasa sesak, hilang nafsu makan, uring-uringan,
malas ngapa-ngapain, rasanya dunia ini sudah tidak menarik lagi, lagu-lagu
sedih terasa sangat ‘gue banget’, dan juga mendadak filosofis. Ada yang
mengatasi penolakan hal percintaan dengan curhat kiri kanan untuk menstabilkan diri dan membangun
kembali pilar-pilar kepercayaan diri yang sebelumnya hancur, ada yang mencoba
mengalihkan pikiran dengan melakukan aktifitas lain walaupun sebelum tidur
biasanya teringat lagi, bahkan ada yang mencoba mencuci bersih perasaannya
dengan minuman keras tapi bukan es batu yang saya maksud.
Kalau dipikir-pikir mengapa
penolakan yang paling sering hanya berbentuk kata-kata dan gesture sederhana
bisa berefek seperti itu? Katanya itu karena otak manusia tempat memproses rasa
penolakan itu sama dengan tempat memproses rasa sakit fisik. Itulah mengapa
efeknya senyata pukulan yang bertubi-tubi, senyata tertusuk ratusan pedang, dan
senyata tertimpa batu yang sangat berat. Tapi yakinlah, time can heal, but only if
you let it heals you. Jangan terlalu berlarut-larut dalam sesuatu, berbahagialah seadanya, dan
bersedihlah secukupnya.
Tapi sebagaimanapun saya selalu mencoba
sedikit menikmati efek dari penolakan yaitu, rasa kecewanya, sakit hatinya, sesaknya, hampanya, bahkan putus-asanya, agar nantinya saya bisa sedikit terbiasa dan nantinya
tidak terlalu shock saat mengalaminya lagi. Rasa sakit penolakan itu seperti
virus cuma bisa ‘ditidurkan’, dan suatu saat jika kondisinya tepat maka bisa ‘terbangun’
lagi. Setidaknya kita bisa lebih bersiap-siap. Yeah, over time we no longer avoid the
pain but we tolerate it.
See You~
See You~
No comments:
Post a Comment