Saturday, August 29, 2015

Kamu Ditolak!

Dalam kehidupan sehari-hari seringkali kita mengalami penolakan. Lihat saja pemberitaan di media massa, ada warga yang menolak direlokasi oleh pemerintah, ada abang-abang ojek konvensional menolak hadirnya ojek modern yang kekinian, ada dosen-dosen yang menolak judul skripsi mahasiswanya, dan ada juga ibu-ibu yang menolak permintaan anaknya untuk dibelikan mainan.


Penolakan umum terjadi dalam kehidupan sehari-hari sebagai hasil dari proses ‘manusia berhak memilih yang terbaik’ dan rasanya cukup banyak yang sudah saya alami sendiri. Paling sering sebelumnya saat menjadi seorang freelancer dalam bidang seni visual, dari situlah saya banyak mendapatkan pengalaman penolakan oleh klien jika proposal saya tidak sesuai keinginan mereka, sampai kadang-kadang saya bisa merasakan bahwa saya akan ditolak jauh sebelum mereka memberikan penolakan secara ‘resmi’. Entah mengapa gesture mereka sebelum melakukan penolakan selalu terlihat sama.

Bagaimana dengan penolakan dalam hal percintaan? Katanya ini paling sakit hahaha, it’s like all the worst pains you have in life comes in one package. Pikiran hampa, bernapas terasa sesak, hilang nafsu makan, uring-uringan, malas ngapa-ngapain, rasanya dunia ini sudah tidak menarik lagi, lagu-lagu sedih terasa sangat ‘gue banget’, dan juga mendadak filosofis. Ada yang mengatasi penolakan hal percintaan dengan curhat kiri kanan untuk menstabilkan diri dan membangun kembali pilar-pilar kepercayaan diri yang sebelumnya hancur, ada yang mencoba mengalihkan pikiran dengan melakukan aktifitas lain walaupun sebelum tidur biasanya teringat lagi, bahkan ada yang mencoba mencuci bersih perasaannya dengan minuman keras tapi bukan es batu yang saya maksud.

Kalau dipikir-pikir mengapa penolakan yang paling sering hanya berbentuk kata-kata dan gesture sederhana bisa berefek seperti itu? Katanya itu karena otak manusia tempat memproses rasa penolakan itu sama dengan tempat memproses rasa sakit fisik. Itulah mengapa efeknya senyata pukulan yang bertubi-tubi, senyata tertusuk ratusan pedang, dan senyata tertimpa batu yang sangat berat. Tapi yakinlah, time can heal, but only if you let it heals you. Jangan terlalu berlarut-larut dalam sesuatu, berbahagialah seadanya, dan bersedihlah secukupnya.

Tapi sebagaimanapun saya selalu mencoba sedikit menikmati efek dari penolakan yaitu, rasa kecewanya, sakit hatinya, sesaknya, hampanya, bahkan putus-asanya, agar nantinya saya bisa sedikit terbiasa dan nantinya tidak terlalu shock saat mengalaminya lagi. Rasa sakit penolakan itu seperti virus cuma bisa ‘ditidurkan’, dan suatu saat jika kondisinya tepat maka bisa ‘terbangun’ lagi. Setidaknya kita bisa lebih bersiap-siap. Yeah, over time we no longer avoid the pain but we tolerate it.

See You~

No comments:

Post a Comment